Oleh: Gr. Sahala Napitupulu, GPI Sidang Ujung Aspal-Jakarta
Sebuah
keniscayaan bahwa suatu hari nanti kita akan mati. Tetapi, bagaimana
dan dimana kita akan menghembuskan nafas terakhir kita, itulah soalnya.
Sehingga disini kita tidak akan bicara tentang apa itu kematian atau
tabir kematian. Dan kita pun harus sepakat lebih dahulu, bahwa waktu
kematian setiap orang ada ditanganTuhan. Singkatnya, disini kita tidak
mempersoalkan tentangWhat and When, melainkan Where and How dari
kematian setiap orang itu.
Beberapa
waktu lalu, salah seorang sintua kami
St.S.Situmorang telah pergi menghadap Bapa di sorga. Dia meninggal
dunia saat beliau tengah melayani Firman Tuhan, saat kami dalam ibadah
jumat malam di GPI Ujung Aspal, Bekasi. Saat beliau berkotbah malam itu
terasa bagi kami berbeda memang. Tidak saja ia meyani dengan penuh
semangat, namun juga penampilannya untuk melayani.
Malam itu ia mengenakan pakaian lengkap dengan dasi dan jas, sesuatu yang tidak pernah kami lakukan dalam ibadah malam, khususnya bagi kami para sintua dan guru injil. Sintua kita ini barangkali melayani hanya antara10 15 menit sebelum akhirnya ia meninggalkan dunia yang fana ini. Dalam istilah dunia kedokteran, sebab kematiannya disebut sebagai heart attack atau serangan jantung.
Malam itu ia mengenakan pakaian lengkap dengan dasi dan jas, sesuatu yang tidak pernah kami lakukan dalam ibadah malam, khususnya bagi kami para sintua dan guru injil. Sintua kita ini barangkali melayani hanya antara10 15 menit sebelum akhirnya ia meninggalkan dunia yang fana ini. Dalam istilah dunia kedokteran, sebab kematiannya disebut sebagai heart attack atau serangan jantung.
Dan
kita juga baru mendapat kabar bahwa beberapa waktu lalu (Minggu 29 Juli
2012) , salah seorang guru injil kita dari GPI Sm.Raja Medan,
Gr.T.Siburian, menghembuskan nafas
terakhirnya ketika ia baru saja selesai berkotbah. Bisa diduga sebab
kematiannya juga karena serangan jantung. Dan saya yakin, sebelum Sintua
Situmorang dan Gr.T. Siburian, telah ada hamba-hamba Tuhan lainnya yg
sudah lebih dahulu mengalami kasus yang sama.
Pertanyaan
saya : Apakah menghadapi kematian dengan cara seperti itu bagi seorang
hamba Tuhan, ia elegant atau tidak ? Mereka mati pada saat melayani,
apakah ini sebuah kebodohan dan kekonyolan atau kematian yang indah ?
Sepuluh
tahun lalu, St.K.M.Sinaga, pendiri PT.Asuransi Bumi Asih Jaya, memberi
kepercayaan kepada saya untuk menuliskan perjalanan hidupnya atau
membuat buku biografinya. Buku tersebut telah selesai saya tulis dan
diberi
kata pengantar oleh mantan Ephorus HKBP, Dr.S.A.E.Nababan. Banyak hal
yang saya dapat dari perjalanan hidup pak St.K.M.Sinaga ini.
Namun, salah satu yang paling mengesankan saya ialah bahwa beliau setiap hari melakukan latihan untuk mati. Ia menelentangkan dirinya diatas lantai dan seolah-olah ia dalam keadaan mati. Ia lakukan latihan itu setiap hari dan sudah berjalan selama puluhan tahun dengan penuh disiplin antara 5 - 10 menit.
Ketika saya tanya, mengapa ia perlu latihan seperti itu ? Jawabnya kepada saya, kematian itu bagi orang percaya bukan lagi sesuatu yang menakutkan, kematian itu bahkan bila perlu dirindukan, oleh karena kematian itu adalah sebuah keuntungan. Ia lalu mengutip teks dari surat rasul Paulus bahwa hidup bagiku adalah Kristus dan mati adalah keuntungan ! Ia ingin ketika kematian itu datang menjempunya, maka tak ada satu anggota tubuhnya yang merasa keberatan, dari ujung kepala sampai ujung kaki semuanya telah siap bila ajalnya telah tiba.
Sesungguhnya saya merasa bangga dengan hamba-hamba Tuhan kita yg meninggal dunia didalam kesetiaannya, setia pada panggilan pelayananNya sampai pada nafas terakhirnya. Padahal setiap kita pasti tahu, menjadi hamba Tuhan di Gereja Pentakosta Indonesia ini lebih banyak hanya karena loyalitas pada GPI sekalipun GPI tak mampu menggaji mereka. Bahkan saya melihat, banyak hamba-hamba Tuhan di GPI ini secara materi hidupnya dibawah garis kemiskinan ! Namun sekalipun hidup mereka dalam kemiskinan materi dan pelayanan mereka tanpa gaji, tetapi saya melihat mereka masih setia melayani, bahkan sampai pada akhir hidupnya !
Jika kita berbicara tentang hidup dalam kemiskinan materi, maka sudah terbayang bagi kita makanan seperti apa yang mereka konsumsi sehari-hari. Pola hidup dengan makanan sehat, bergizi, bervitamin tentu hanya bisa dipenuhi bagi mereka yang hidupnya telah keluar dari kemiskinan materi. Maka bagi saya sangat anomali, jika kita meletakkan standard pola hidup sehat kepada para hamba Tuhan GPI tanpa lebih dahulu memikirkan kesejahteraan eknomi mereka. Karena itu, saya kira, management GPI kedepannya kalaupun belum bisa menggaji para hamba Tuhannya, setidaknya setiap hamba Tuhan di GPI hidupnya telah diasuransikan, seperti asuransi kesehatan dan asuransi jiwa. Sehingga apabila ada hamba Tuhan GPI yang sakit, maka pihak asuransi yang akan mencover biaya perawatannya dan bila ada hamba Tuhan kita meninggal dunia maka ada sejumlah uang yang memadai yang bisa diterima oleh janda-janda hamba Tuhan GPI.
Kembali kepada soal kematian hamba Tuhan tadi. Mereka telah meninggalkan dunia yang fana ini saat mereka melayani firman Tuhan, tentu sangat mengharukan dan membanggakan dimata saya. Pertama, karena mereka telah membuktikan loyalitas mereka kepada Kristus dan kepada GPI.Dalam bahasa rasul Paulus bahwa mereka lah yang disebut telah mencapai garis akhir dan mahkota kemenangan dan kehidupan akan menjadi bagian mereka.
kedua, mereka telah meninggalkan dunia yang fana ini tanpa proses yang sulit dan mengkuras dana yang besar. Tentu kita sudah seringkali mendengarkan, banyak orang sebelum meninggal dunia, mereka telah melewati pengobatan demi pengobatan, keluar masuk rumah sakit dalam negeri bahkan luar negeri. Puluhan juta bahkan ratusan juta harus ditanggung oleh keluarga yg ditinggalkan. Terbayangkah oleh kita, jika hal yang demikian harus dialami oleh hamba-hamba Tuhan GPI, dimana hidup sehar-hari mereka saja masih jauh dari kecukupan.? Oleh karena itu, patutlah kita bersyukur karena mereka meninggalkan kita dengan sebuah teladan yaitu setia melayani sampai pada nafas penghabisan. Dan Tuhan memanggil mereka tanpa proses yang sulit dan tanpa harus mengeluarkan banyak biaya.
Sebagai bagian penutup, saya ingin mengulang apa yang pernah saya kotbahkan di GPI Ujung Aspal beberapa tahun lalu. Jika kita tahu bahwa suatu hari nanti kita toh akan mati, mengapa kita tidak pernah berdoa atau meminta kepada Tuhan bagaimana cara mati kita ? Mengapa yang kita minta hanya soal berkat dan kesembuhan saja dari Tuhan ? Pernahkah saudara meminta kepada Tuhan bagaimana supaya mati kita dengan elegant, mati kita dengan indah ?
Salam pentakosta.
Bekasi 4 Agustus 2012.
Namun, salah satu yang paling mengesankan saya ialah bahwa beliau setiap hari melakukan latihan untuk mati. Ia menelentangkan dirinya diatas lantai dan seolah-olah ia dalam keadaan mati. Ia lakukan latihan itu setiap hari dan sudah berjalan selama puluhan tahun dengan penuh disiplin antara 5 - 10 menit.
Ketika saya tanya, mengapa ia perlu latihan seperti itu ? Jawabnya kepada saya, kematian itu bagi orang percaya bukan lagi sesuatu yang menakutkan, kematian itu bahkan bila perlu dirindukan, oleh karena kematian itu adalah sebuah keuntungan. Ia lalu mengutip teks dari surat rasul Paulus bahwa hidup bagiku adalah Kristus dan mati adalah keuntungan ! Ia ingin ketika kematian itu datang menjempunya, maka tak ada satu anggota tubuhnya yang merasa keberatan, dari ujung kepala sampai ujung kaki semuanya telah siap bila ajalnya telah tiba.
Sesungguhnya saya merasa bangga dengan hamba-hamba Tuhan kita yg meninggal dunia didalam kesetiaannya, setia pada panggilan pelayananNya sampai pada nafas terakhirnya. Padahal setiap kita pasti tahu, menjadi hamba Tuhan di Gereja Pentakosta Indonesia ini lebih banyak hanya karena loyalitas pada GPI sekalipun GPI tak mampu menggaji mereka. Bahkan saya melihat, banyak hamba-hamba Tuhan di GPI ini secara materi hidupnya dibawah garis kemiskinan ! Namun sekalipun hidup mereka dalam kemiskinan materi dan pelayanan mereka tanpa gaji, tetapi saya melihat mereka masih setia melayani, bahkan sampai pada akhir hidupnya !
Jika kita berbicara tentang hidup dalam kemiskinan materi, maka sudah terbayang bagi kita makanan seperti apa yang mereka konsumsi sehari-hari. Pola hidup dengan makanan sehat, bergizi, bervitamin tentu hanya bisa dipenuhi bagi mereka yang hidupnya telah keluar dari kemiskinan materi. Maka bagi saya sangat anomali, jika kita meletakkan standard pola hidup sehat kepada para hamba Tuhan GPI tanpa lebih dahulu memikirkan kesejahteraan eknomi mereka. Karena itu, saya kira, management GPI kedepannya kalaupun belum bisa menggaji para hamba Tuhannya, setidaknya setiap hamba Tuhan di GPI hidupnya telah diasuransikan, seperti asuransi kesehatan dan asuransi jiwa. Sehingga apabila ada hamba Tuhan GPI yang sakit, maka pihak asuransi yang akan mencover biaya perawatannya dan bila ada hamba Tuhan kita meninggal dunia maka ada sejumlah uang yang memadai yang bisa diterima oleh janda-janda hamba Tuhan GPI.
Kembali kepada soal kematian hamba Tuhan tadi. Mereka telah meninggalkan dunia yang fana ini saat mereka melayani firman Tuhan, tentu sangat mengharukan dan membanggakan dimata saya. Pertama, karena mereka telah membuktikan loyalitas mereka kepada Kristus dan kepada GPI.Dalam bahasa rasul Paulus bahwa mereka lah yang disebut telah mencapai garis akhir dan mahkota kemenangan dan kehidupan akan menjadi bagian mereka.
kedua, mereka telah meninggalkan dunia yang fana ini tanpa proses yang sulit dan mengkuras dana yang besar. Tentu kita sudah seringkali mendengarkan, banyak orang sebelum meninggal dunia, mereka telah melewati pengobatan demi pengobatan, keluar masuk rumah sakit dalam negeri bahkan luar negeri. Puluhan juta bahkan ratusan juta harus ditanggung oleh keluarga yg ditinggalkan. Terbayangkah oleh kita, jika hal yang demikian harus dialami oleh hamba-hamba Tuhan GPI, dimana hidup sehar-hari mereka saja masih jauh dari kecukupan.? Oleh karena itu, patutlah kita bersyukur karena mereka meninggalkan kita dengan sebuah teladan yaitu setia melayani sampai pada nafas penghabisan. Dan Tuhan memanggil mereka tanpa proses yang sulit dan tanpa harus mengeluarkan banyak biaya.
Sebagai bagian penutup, saya ingin mengulang apa yang pernah saya kotbahkan di GPI Ujung Aspal beberapa tahun lalu. Jika kita tahu bahwa suatu hari nanti kita toh akan mati, mengapa kita tidak pernah berdoa atau meminta kepada Tuhan bagaimana cara mati kita ? Mengapa yang kita minta hanya soal berkat dan kesembuhan saja dari Tuhan ? Pernahkah saudara meminta kepada Tuhan bagaimana supaya mati kita dengan elegant, mati kita dengan indah ?
Salam pentakosta.
Bekasi 4 Agustus 2012.
info menarik, komentar juga ya ke blog saya www.belajarbahasaasing.com
BalasHapus