Kita terpanggil menjadi pendoa. Haleluya

Senin, 13 Agustus 2012

KHOTBAH LEBIH DARI SEBUAH CERITA

Oleh:  Bpk Pdt Tehe Harefa, M.A, Koordinator Pembantu Umum GPI Wilayah Nias
(Seminar dan Pelatihan Pengerja GPI Wilayah Nias Tahun 2012)
  1. A.   Pendahuluan
Pemahaman adalah sesuatu yang lebih dari sekedar pengertian intelektual. Pemahaman adalah pengetahuan yang meresapi seluruh pribadi sehingga yang dapat mengatakan ‘ya’ kepada pengetahuan tersebut. Pemahaman adalah pengetahuan yang meresapi kehidupan manusia itu dari kepala sampai ke ujung kukunya dan dari otak sampai ke hatinya. Jika seseorang dapat sampai kepada pengetahuan yang menembus secara menyeluruh ia akan dapat sungguh-sungguh mendengarkan Sabda Allah dan tunduk pada terang yang memasuki kehidupannya yang gelap. Dengan demikian, salah satu tujuan daripada khotbah yang paling penting adalah menyingkirkan hambatan-hambatan yang sangat nyata dan terlalu jelas yang menyebabkan orang mendengar tanpa pengertian.

Khotbah adalah salah satu tugas utama dalam pelayanan kekristenan. Ahli sejarah, ahli Teologi Sistematika, dan khususnya ahli Kitab Suci semuanya dapat memberikan sumbangan yang berharga untuk mengetahui lebih baik tugas pelayanan yang penting ini. Namun kiranya terlalu berani untuk mencoba menggarap berbagai segi masalah khotbah. Oleh karena itu kita harus membatasi diri pada satu pertanyaan saja: “Siapakah yang dapat menyingkirkan rintangan-rintangan yang menghalangi Sabda Allah jatuh pada tanah yang subur?”

Pertanyaan ini sesungguhnya adalah pertanyaan yang berhubungan dengan spritualitas pengkhotbah. Namun sebelum kita mendekati masalah itu secara nyata, pertama-tama kita harus melihat dua kesulitan utama dalam khotbah, yaitu: kesulitan berhubungan dengan pesan dan kesulitan yang berhubungan dengan pembawa pesan.

  1. B.   Kesulitan yang Berhubungan dengan Pesan
Untuk dapat meneruskan pesan apapun kepada orang lain, setidak-tidaknya harus ada kesediaan untuk menerima pesan tersebut. Kesediaan ini berhubungan dengan adanya keinginan untuk mendengar, suatu pertanyaan yang menuntut jawaban atau pesan umum yang tidak pasti dan membutuhkan penjelasan untuk dimengerti. Akan tetapi jika sebuha jawaban diberikan padahal tidak ada pertanyaan, dukungan ditawarkan tetapi tidak ada permintaan, maka satu-satunya akibat yang akan muncul adalah kejengkelan dan ketidakacuhan.
Tidak merupakan suatu rahasia lagi bahwa mereka yang memperhatikan sunguh-sungguh orang-orang di gereja, sering kali merasakan bahwa besarnya jumalh orang yang hadir berbanding terbalik dengan hasrat mereka untuk mendengar. Ada bebrapa hal yang menyebabkan terjadinya kejengkelan dan ketidakacuhan jemaat, yaitu sebagai berikut:
 
  1. Pesan yang berlebih-lebihan
Kalau kita mengatakan bahwa khotbah adalah mewartakan berita gembira/sukacita, penting untuk disadari bahwa bagi kebanyakan orang sama sekali tidak ada sesuatupun yang merupakan berita gembira dalam khotbah.

Pada kenyataannya tidak ada seorangpun mendengarkan khotbah dengan harapan untuk mendengar sesuatu yang belum pernah mereka dengar atau ketahui. Mereka telah mendengar tentang Yesus (muridNya, karyaNya, penyelamatanNya, dll) di rumah, di sekolah, sehingga hal terakhir yang mereka harapkan akan muncul dari mimbar bukanlah sesuatu hal yang baru.

Bila sebuah pesan sudah menjadi terlalu berlebih-lebihan dan sama sekali kehilangan kekuatan untuk menggugah tanggapan yang kreatif, maka pesan itu tidak dapat disebut lagi sebagai pesan. Dan kalau Anda merasa tidak dapat menghindarkan diri dari keharusan hadir secara jasmani waktu pesan itu disampaikan setidak-tidaknya Anda dapat menutup mata dan tidak mau melibatkan diri lagi.

  1. Pesan yang menakutkan
Berlebih-lebihannya pesan hanyalah satu segi pesan yang menghalangi seseorang untuk mendengar. Dan meskipun mungkin benar mengatakan bahwa bagi kebanyakan orang khotbah hampir tidak memberikan sesuatu yang baru, namun pesan inti dari Injil tetap mengandung kebenaran yang belum seutuhnya dinyatakan oleh siapapun. Dan mendengarkan dengan baik tidak lain dari kesediaan yang terus menerus mengakui bahwa kita masih belum mewujudkan apa yang kita percayai. Siapa yang senang mendengar, misalnya bahwa yang terakhir akan menjadi yang pertama, jika dia adalah orang yang pertama. 

Dan siapakah yang ingin mendengar bahwa mereka yang miskin, sedih, lapar, haus dan dianiaya disebut berbahagia, kalau dia adalah seorang yang kaya, puas dengan dirinya sendiri, terjamin, dipuji karena keberhasilannya dan dikagumi oleh teman-temannya? Siapa yang mau mendengar bahwa orang harus mengasihi usuh-musuhnya dan berdoa bagi mereka yang menganiayanya kalau dia menyebut pimpianannya bajingan, memaki anaknya sendiri sebagai bangsat, dan merasa bangga jika mendengar bahwa anak buahnya telah mencincang ratusan orang musuh-musuhnya? Mungkin pesan akan selalu sama selama hidup dan mungkin pula akan diulang kembali dalam berbagai cara dan ungkapan, akan tetapi orang sungguh-sungguh membiarkan pesan itu meresap masuk ke dalam diri, pada saat itu juga membuka kemungkinan bagi dirinya untuk sampai ke pemahaman yang mungkin membawa akibat bagi gaya hidupnya yang tidak diinginkannya. 

Bagaimanapun kebenaran adalah radikal, kebenaran itu menembus ke akar hidup manusia sedemikian rupa sehingga sedikit saja yang menginginkan kebenaran itu sendiri dan kebebasan yang dibawanya serta. Kenyataannya ada ketakutan yang langsung dirasakan untuk berhadapan dengan kebenaran dalam kesahajaan dan kesederhanaannya, sehingga rupanya jengkel dan marah merupakan reaksi yang lebih umum daripada pengakuan sederhana bahwa seseorang termasuk dalam kelompok yang dikecam oleh Yesus.
Berlebih-lebihannya pesan dan ketakukan akan kebenaran rupanya merupakan dua alasan utama mengapa seseorang pengkhotbah menghadapi kesulitan besar untuk dapat sampai kepada pendengarnya. Lebih lagi kalau mereka yang hadir merasa tidak bebas untuk pergi ke luar. Masih banyak yang merasa terikat oleh kekuasaan tertentu, yang telah membuat mereka yakin bahwa kalau mereka tidak bersedia berkorban satu jam dalam seminggu, kelak mereka akan menderita jauh lebih berat kalau hari-hari mereka telah berlalu. Sebagai akibatnya, seorang pengkhotbah sekali lagi berhadapan dengan sebuah tugas yang berat: “Mewartakan berita gembira/sukacita, yang bagi banyak orang tidak lagi merupakan suatu berita yang menggembirakan”.
Sebelum kita bertanya orang yang bagaimana yang akan menembus rintangan yang mengakar dalam dan yang menghalangi sampainya pesan, kita harus jujur untuk mengakui bahwa bukan hanya pesan saja melainkan juga pembawa pesan sendiri sering kali menjauhkan orang dari pemahaman yang menyakitkan namun membebaskan. Maka sekarang marilah kita telaah masalah pembawa pesan.

  1. C.   Kesulitan yang Berhubungan dengan Pembawa Pesan
Banyak pengkhotbah cenderung bukannya memperlemah melainkan memperkuat rintangan yang membuat orang tidak mau mendengarkan, dengan cara yang dipakainya untuk menyampaikan pesan abadi itu. Penyelidikan yang teliti terhadap khotbah-khotbah akan menunjukkan kalau nabi Yesaya memang benar, waktu mengatakan: “engkau akan mendengar tetapi tidak mengerti, melihat dan tidak memahami” (Yesaya 6:9-10), maka pasti banyak pengkhotbah tidak membantu untuk mengecualikan orang dari nubuat ini. Maka kiranya perlu melihat lebih teliti beberapa cara khotbah yang dapat membuat kita mengerti lebih baik masalah yang berhubungan dengan Pembawa Pesan. Dalam hal ini saya berpikir bahwa dua alasan utama mengapa seseorang pengkhotbah sering kali menumbuhkan sikap melawan, bukannya simpati adalah: (1) perasaan-perasaan yang sebetulnya tidak ada akan tetapi diandaikan begitu saja; dan (2) terlalu memikirkan pandangan teologis.

  1. 1.    Perasaan-perasaan yang Sebetulnya tidak ada
Banyak khotbah dimulai dengan membuat pengandaian yang tidak diuji terlebih dahulu. Banyak pengkhotbah begitu saja memaksakan perasaan, gagasan, pernyataan dan masalah kepada pendengar khotbah. Sedang semuanya itu sering kali tidak diketahui oleh sebagian besar dari mereka, kalau tidak oleh semua. Beberapa pengkhotbah mengajar jemaat bertanya kepada diri mereka sendiri mengapa pada hari Pentakosta pakaian liturgi berwarna merah, mengapa hari Minggu terakhir dari tahun liturgi tidak jatuh pada akhir bulan Desember, mengapa puasa berlangsung selama 40 hari, mengapa semua arwah semua orang beriman diperingati sesudah hari raya semua orang kudus. Pertanyaan-pertanyaan yang bagi umat tidak penting tidak perlu disampaikan kepada jemaat secara umum. Sering kali khotbah dibangun atas dasar perasaan-perasaan klerikal yang sering kali asing bagi awam. Saya ingat sebuah khotbah yang dimulai demikian:
Hari ini kita semua berkumpul untuk merayakan Kenaikan Tuhan Yesus Kristus. Baru beberapa minggu yang lalu hati kita dipenuhi kegembiraan karena kebangkitan Tuhan kita, dan sekarang bersama-sama dengan para Rasul kita merasakan kesedihan karena Yesus meninggalkan kita lagi. Akan tetapi kita tidak perlu putus asa karena Yesus tidak meninggalkan kita sendirian melainkan akan mengutus Roh Kudus kepada kita yang percaya kepadaNya. Dan bukan hanya kepada para Rasul akan tetapi juga bagi umat yang berkumpul disekeliling altar. Roh Kudus itu akan membawa kehidupan dan harapan baru.

Tidak mengherankan bahwa semua orang melamunkan ketika pengkhotbah selesai dengan pendahuluannya. Saya menghitung kira-kira ada tiga puluh orang tersebar di gereja yang besar dan hampir kosong itu. Rupanya tidak seorang pun ingat bagaimana dia merasa bergembira pada hari Paskah atau merasa susah pada hari Kenaikan Yesus. Tidak ada umat, tidak ada perayaan, tidak ada kesatuan dan pasti tidak ada rasa putus asa atau harapan agar Roh Kudus segera datang. Yang ada ialah beberapa orang yang tidak saling berhubungan yang masih berpikir bahwa hari raya Kenaikan Yesus adalah hari wajib dan masih cukup setia untuk menghadiri kebaktiannya.
Lebih menjengkelkan dari hal di atas adalah para pengkhotbah yang seakan-akan mengetahui secara persis perasaan setiap orang. Contoh yang baik adalah pendahuluan khotbah ini:
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus,
Pada zaman dimana kita telah hanyut dalam arus hidup ala Amerika yang selalu sibuk, dimana kita terpaksa menjadi korban waktu dan budak agenda, yang membuat kita lari dari rapat yang satu ke rapat yang lain, kita telah menjadi tuli terhadap suara Allah yang berbicara dalam keheningan dan menyatakan diri dalam ketenangan doa.

Tentu saja ini semua cukup memberikan gambaran mengenai pengkhotbah. Akan tetapi bagaimana dengan nenek-nenek yang melewatkan sebagian besar waktunya untuk mengisi teka-teki silang, bagaimana dengan anak-anak yang baru saja kembali dari lapangan sepak bola, dan guru mereka yang menggunakan malam minggu untuk membaca buku cerita/novel dan bagaimana dengan ibu-ibu yang menikmati senja dengan anak-anaknya di kebun binatang?
Mungkin seorang dari antara umat mengatakan ‘ya’ kepada pengkhotbah, akan tetapi kebanyakan akan merasa begitu jauh seperti halnya mereka begitu jauh dari gambaran hidup yang selalu dikejar-kejar kesibukan. Mungkin mereka tidak menyadari hal ini, akan tetapi dengan satu atau lain cara-dengan diam seribu bahasa agar aman atau menunjukkan sikap bermusuhan yang tajam- mereka akan menunjukkan bahwa sebenarnya mereka tidak sejalan dengan dia.

  1. 2.    Terlalu Memikirkan Pandangan Teologis
Masalah kedua yang lebih sulit untuk diatasi ialah sikap pengkhotbah yang terlalu memasalahkan teologi. Beberapa pengkhotbah begitu terpesona oleh buku baru yang dibaca atau suatu pandangan baru yang didengar sehingga mereka merasa bahwa orang lain harus ikut merasakan kekagumannya. Alasan utama bukannya bahwa gagasan teologi mereka tidak benar atau tidak berarti, melainkan bahwa bukan hanya pengkhotbah akan tetapi pendengar juga mempunyai teologi mereka sendiri-sendiri. Saya akan menjelaskan hal ini dengan sebuah cerita.

Seorang mahasiswa teologi diminta untuk berkhotbah tentang Kerajaan Allah. Dia mempelajari Kitab Suci dengan teliti dan membaca karangan terakhir mengenai hal tersebut. Tetapi ketika dia merasa sudah mempunyai gambaran yang jelas mengenai Kerajaan Allah dan siap membawakan khotbahnya, diusulkan kepadanya untuk lebih dahulu mengunjungi tiga keluarga dimana dia akan berkhotbah dan bertanya kepada mereka apa yang mereka pikirkan tentang Kerajaan Allah.
  • Pertama-tama dia mengunjungi seorang ahli Meteorologi, seorang cendekiawan yang telah membaca banyak buku dalam hidupnya cukup rumit. Dan ahli Meteorologi itu berkata: “Kerajaan Allah adalah pemenuhan janji-janji Allah, dan manusia harus menjauhkan diri dari rasa ingin tahu mengenai bagaimana hal itu persis akan terjadi”.
  • Lalu mahasiswa itu menemui pemilik toko yang baru saja bangkrut dan istrinya sudah bertahun-tahun sakit. Pemilik toko itu berkata: “Kerajaan Allah adalah sorga dimana akhirnya saya akan menerima pahala karena saya bertahan hidup dalam kondisi berat dan susah ini”.
  • Dari sana ia pergi ke rumah seorang petani kaya, yang mempunyai seorang istri yang sehat dan dua anak yang juga sehat dan tampan. Petani itu berkata: “Kerajaan Allah adalah sebuah taman yang indah dimana kami akan melanjutkan kehidupan bahagia yang sudah kami mulai dari dunia ini”.

Mungkin godaan yang paling besar yang dialami oleh seorang pengkhotbah ialah berpikir bahwa hanya dialah yang mempunyai teologi dan yakin yang terbaik yang harus dikerjakan ialah mengajar semua orang yang mendengarkan khotbahnya untuk menerima jalan pikirannya. Namun dengan demikian dia tidak menyadari bahwa dia belum mencintai sesamanya seperti dirinya sendiri dalam arti yang sebenarnya, karena dia belum mempertimbangkan gagasan-gagasan dan pengalaman-pengalaman mereka dengan sungguh-sungguh seperti dia mempertimbangkan gagasan dan pengalamannya sendiri.

Jika benar demikian maka banyak dari antara mereka yang mendengarkan pandangannya akan menjadi tak acuh atau jengkel tanpa persis tahu mengapa. Dan pengkhotbah sendiri yang telah menyediakan waktu untuk mempelajari buku dan mempersiapkan khotbah akan merasa semakin kecewa kalau dia mulai merasa bahwa tidak seorang pun tidak ingin mendengarkan Sabda Allah. Namun sementara itu dia lupa bahwa Sabda Allah tidak harus persis sama dengan sabda-sabdanya sendiri. Kalau seorang pengkhotbah memusatkan perhatiannya pada perasaan-perasaan yang sebetulnya tidak dialami oleh umat dan terlalu disibukkan oleh teologinya sendiri, dia bukannya saja melemahkan tetapi akan memperkuat sikap menolak yang sudah kian ada terhadap pesan.

Sekarang mungkin kita tergoda untuk bertanya bagaimana pengkhotbah dapat mengatasi masalah ini. Namun sejak permulaan harus kita katakan bahwa pertanyaan itu sendiri keliru, karena tidak ada alat, teknik atau ketrampilan khusus yang dapat memecahkan masalah pengkhotbah tersebut. Oleh karena itu marilah kita sekarang melihat siapakah yang dapat membantu orang lain sampai kepada pemahaman ini.

D.  Orang Yang Menghantarkan Kepada Pemahaman.
Tugas setiap pengkhotbah ialah mendampingi orang lain dalam perjuangan mereka yang terus menerus untuk menjadi manusia yang seutuhnya. Tugas ini dilaksanakan pertama-tama dengan berbicara mengenai Kristus, yang menghayati hidupnya dengan kesediaan yang semakin penuh untuk menghadapi keadaannya sendiri dan keadaan dunia dinama dia hidup sedemikian rupa sehingga orang lain didorong untuk mengikutinya, artinya agar orang menghayati hidupnya secara otentik, juga kalau cara hidup itu akan mendatangkan air mata dan keringat atau bahkan mungkin akan membawanya kepada kematian yang bengis.

Setiap pengkhotbah diharapkan untuk menyingkirkan halangan-halangan yang merintangi proses pemanusiaan yang menyakitkan ini. Tugas ini adalah tugas yang sulit karena rupanya ada kekuatan melawan yang mendasar dalam diri manusia akan perubahan, sekurang-kurangnya kalau perubahan itu menyangkut pandangan dasar mengenai kehidupan dengan berbagai cara dia menolak penggilan dari Dia yang mengatakan bahwa “Ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan kemana engkau kehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulirkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kau kehendaki” (Yohanes 21:18). Hal ini sangat bertentangan dengan gagasan kita bahwa kedewasaan berarti kemampuan untuk mengurus diri sendiri. 

Yesus menggambarkan kedewasaan sebagai kesediaan yang terus berkembang untuk mengulurkan tangan dan dipimpin oleh orang lain. Maka tidak heran jika seorang pengkhotbah yang berharap untuk mengangkat rintangan-rintangan yang menghalangi proses perkembangan ini dan menjadikan umatNya bebas untuk menyerahkan diri dan membiarkan orang lain memimpinnya, dianggap sebagai seorang yang sangat pemberani.

Dua segi dari berkhotbah yang rupanya paling pokok bagi seorang pengkhotbah untuk mempermudah proses pemanusiaan manusia, adalah sebagai berikut:

  1. 1.    Kemampuan untuk berdialog.
Dialog adalah cara berkomunikasi/berhubungan dengan sesama baik laki-laki maupun perempuan yang membuat mereka menanggapi apa yang dikatakan berdasarkan pengalaman hidup mereka sendiri. Dengan demikian dialog bukanlah suatu teknik melainkan sikap pengkhotbah yang bersedia masuk dalam satu hubungan dimana tiap-tiap pihak dapat saling mempengaruhi. Dalam sebuah dialog yang sejati seorang pengkhotbah tidak bisa berdiri di luar. Dia tidak dapat tinggal tak tersentuh dan tak terkena. 

Ia harus seituhnya terlibat secara pribadi. Proses semacam ini merupakan sebuah proses batin yang murni dan tidak memakai pertukaran kata tetapi menuntut keterlibatan yang benar-benar dalam hubungan antara dia yang berbicara dengan mereka yang mendengarkan. Akan tetapi jikalau seorang pribadi yang gelisah dan tak dapat ditembus, didekati oleh seorang kawan yang menyatakan solidaritas terhadapnya dan menawarkan pemahaman dan pengertian sebagai sumber pengenalan dan penjernihan, kalau kekalutannya dapat diangkat dan jalan yang dapat membawanya kepada terang akan mejadi tampak.

  1. 2.    Keterbukaan
Keterbukaan adalah syarat utama untuk setiap dialog, yang mengarahkan kepada pemahaman yang membebaskan. Seorang pengkhotbah yang bersedia terbuka menjadikan pengertian akan iman dan kebimbangannya, kecemasan dan harapannya, ketakutan dan kegembiraannya sendiri sebagai sumber pengenalan yang dapat digunakan oleh orang lain. Tidak akan dapat berharap untuk mengangkat berbagai rintangan yang menghalangi Sabda Allah agar menghasilkan buah.

Akan tetapi persis disinilah kita sampai pada spiritualitas pengkhotbah itu sendiri. Supaya dapat terbuka bagi orang lain, ia harus pertama-tama terbuka bagi dirinya sendiri. Seorang pengkhotbah yang ingin menjadi seorang pemimpin sejati ialah orang yang dapat membuka seluruh pengalaman hidupnya, misalnya pengalamannya dalam doa, pengalaman dan bercakap-cakap dan dalam saat-saat sepi dan membuat dirinya bersedia bagi mereka yang memintanya sebagai pengkhotbah mereka. Pelayanan pastoral tidak berarti lari kesana-kemari, mencoba menebus umat, menyelamatkan mereka pada saat terakhir atau menempatkan mereka pada jalan yang benar melalui pemikiran yang baik, kata-kata yang cerdik, atau nasehat yang praktis.

Kalau orang mendengarkan seorang pengkhotbah yang sungguh-sungguh terbuka bagi dirinya sendiri dan oleh karena itu dapat menawarkan pengalaman hidupnya sebagai sumber pengenalan, dia tidak lagi harus merasa takut untuk berhadapan dengan keadaan dirinya sendiri dan dunia ini karena orang yang berdiri di hadapannya adalah saksi-saksi hidup yang menunjukkan bahwa pemahaman membuatnya bebas dan tidak membuahkan kecemasan-kecemasan yang baru. Baru pada saat itulah ketidak-acuhan dan kejengkelan dapat disingkirkan. Dan saat itu juga Sabda Allah yang begitu kerap diulang akan tetapi dimengerti begitu sedikit, menemukan tanah yang subur dan berakar dalam sanubari manusia.

Dengan demikian kita sudah melihat bagaimana melalui keterbukaan dialog yang sejati yang dapat membawa ke pemahaman yang baru, dapat terjadi. Ini berarti bahwa Sabda Allah yang merupakan tanda perbantahan dan pedang yang menembus hati manusia, hanya dapat sampai kepada seseorang kalau sudah menjadi darah dan daging dari dia yang mengkhotbahkannya. 

Tuhan Yesus memberkati.  HALELUYA!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar