Kita terpanggil menjadi pendoa. Haleluya

Kamis, 02 Agustus 2012

STRATEGI PELAYANAN DAN PENGINJILAN DI ERA MODERNISASI



Oleh: Pdt T Harefa, MA, M.Th

(Koordinator Pembantu Umum GPI Wilayah Nias, tengah dalam gambar)


  1. 1.    Pengantar
Pada dasarnya setiap manusia memiliki kecendrerungan untuk hidup lebih baik di hari esok dari hari ini. Untuk mencapai hal tersebut, maka setiap orang senantiasa berupaya dengan segenap ‘daya’ yang dimilikinya. Keinginan tersebut telah menjadi suatu pandangan untuk memotivasi manusia berpikir dan bekerja demi tujuan mendapat hidup yang lebih ‘baik’.
“Harapan” mendapat kehidupan yang lebih baik meliputi berbagai aspek kehidupan menurut kebutuhan dan keinginan masing-masing. Untuk meraih harapan atas keinginan tersebut maka timbul kemauan dari manusia yang disertai dengan usaha.

Perkembangan manusia dari waktu ke waktu mengakibatkan pergeseran sikap dan mentalitas manusia. Proses pergeseran mentalitas dan sikap manusia yang timbul dari usaha manusia itu sendiri untuk memenuhi kebutuhan zamannya disebut: “MODERNISASI”.
Modernisasi dalam realitanya memberi kemudahan pelayanan dalam hidup manusia baik teknik maupun waktu. “Kemudahan” demikian menjadi salah satu daya pikat tersendiri yang semakin berat memberi daya dorong bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan yang melahirkan “Teknologi”, yakni: teknik/metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis.

Perkembangan teknologi yang begitu pesat merambah berbagai sisi kehidupan manusia yang dampaknya tidak hanya menyentuh sekelompok orang dalam lingkungan tertentu tetapi sangat dimungkinkan meliputi kehidupan manusia secara menyeluruh (global). Pemicu yang memacu dampak global didominasi oleh kemajuan teknologi komunikasi mutakhir yang membuat dunia terasa sempit.

Dalam dunia yang dilanda oleh arus modernisasi, kita jangan pernah berpikir untuk menghentikannya dan atau membendung laju perkembangannya, tetapi mari kita berpikir positif untuk senantiasa tetap eksis dengan jadi diri sebagai anak-anak Allah. Sebagai anak-anak Allah mari berpikir global seperti amanatNya untuk menjadi Garam dan Terang Dunia (Matius 5:13-14) dan panggilanNya untuk menjadi saksi di seluruh dunia (Matius 28:18-20; Markus 16:15; Kisah Para Rasul 1:8).

Pelayanan Penginjilan adalah salah satu tugas utama dari seorang umat Tuhan atau orang percaya. Pelayanan Penginjilan bukan saja hanya dilakukan oleh Pendeta, Guru Injil, Sintua, Penginjil tetapi adalah merupakan tugas dan tanggung jawab semua orang percaya (Matius 28:18-20; Markus 16:15; Kisah Para Rasul 1:8)

  1. 2.    Yesus dan PelayananNya
Dalam Markus 16:15 Pekabaran Injil ditujukan kepada ‘segala makhluk’. Markus memakai istilah ‘segala makhluk’ yang dalam bahasa Yunaninya: KTISIS (Ktisis) yang artinya:
1)      Segala Ciptaan
2)      Setiap orang
3)      Segenap dimensi hidup manusia (makhluk sosial, ekonomi, politik, hukum, dsb)
4)      Institusi (Lembaga/organisasi).

  Dengan demikian, misi ini adalah membawa pembebasan, kehidupan, damai sejahtera bagi semua orang tanpa membedakan status sosial, jenis kelamin tanpa dibatasi oleh suku, ras, bahasa, kepada segala makhluk ciptaan Allah. Inilah Amanat Agung yang diberikan kepada manusia, kepada gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya, yaitu pelayanan yang utuh dan menyeluruh yang disebut dengan: “Pelayanan Holistik”.

Bila mengkaji secara mendalam Markus 10:45, maka inti kedatangan Yesus adalah ‘melayani’, yakni memberitakan Kerajaan Allah. Pemberitaan tersebut membawa keadilan, keselamatan, dan perlindungan bagi mereka yang sakit, miskin, hina, yang tertindas, janda dan yatim-piatu. Kehadiran Allah mengundang manusia untuk bertobat, meninggalkan dosanya yang memisahkannya dengan Allah. Kerajaan Allah sudah nyata dan kepada orang miskin diberitakan Kabar Baik (Matius 11:5), kuasa Iblis dipatahkan (Lukas 11:20) dan pembebasan dinyatakan (Lukas 4:18-19).

Hal kedua yang perlu kita telaah dari Pelayanan Yesus adalah sikapnya yang memprioritaska orang-orang  terlantar. Yesus adalah seorang yang sangat perka dan hirau yang selalu siap mengulurkan tangan bagi mereka yang membutuhkan pertolongan. Kesejahteraan rakyat yang prioritas bagiNya manusia lebih penting dari Hukum Taurat, tradisi, institusi, hirarkhi, struktur atau sistem. Ia mengatakan: “Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang?” (Markus 3:4).

Kemajuan pesat di bidang tekonologi komunikasi dan informatika telah menjadi sarana ampuh globalisasi. Waktu dan tempat tidak lagi menjadi masalah yang berarti. Dunia yang dulunya dilihat dengan berbagai jurang pembatas dan sekat pemisah, tetapi kini dengan kehadiran teknologi modern, dunia seolah tanpa batas.
Bersamaan dengan kemajuan yang sedemikian pesat sekaligus mengakibatkan perubahan di berbagai dimensi kehidupan dan arah: baik ekonomi, sosial, budaya, religius, yang menghantar setiap orang masuk ke dalam satu bentuk ‘budaya baru’, yaitu: “Budaya Global”. Kita tidak perlu harus anntipati terhadap berbagai kemajuan, namun kita tidak boleh terbuai dengan segenap kemajuan tersebut atau pasrah, tidak mau tahu dan atau pesimis.

Panggilan kita dalam kondisi dunia dewasa ini di tengah arus globalisasi, harus mampu antisipatif terhadap dampak negatif dan kompetitif akan berbagai kemajuan dan perubahan menurut kompetensi masing-masing. Kemajuan di berbagai sektor dapat kiranya menjadi motivasi bertumbuh dalam paradigma baru, memahami tugas dan tanggung jawab ‘guna pelaksanaan yang relevan’ tanpa kehilangan integritas diri sebagai anak-anak Allah.

Kita dituntut melihat secara cermat untuk menyadari dampak setiap kemajuan yang lahir sebagai konsekwensi logis modernisasi dan globalisasi untuk dapat menentukan kebijakan dan atau langkah antisipatif. Realita kehidupan masyarakat kita menampilkan berbagai perubahan baik yang ditimbulkan oleh dampak atau akibat langsung maupun bias dari kemajuan itu sendiri. Kehidupan beriman ditantang untuk bertumbuh semakin dewasa menghadapi tantangan dari modernisasi dan globalisasi. Beberapa hal yang perlu kita gumuli dalam menghadapi perubahan dari kehidupan modern dewasa ini baik menyangkut mental maupun pola pikir yang merasuki kehidupan manusia.

  1. 3.    KEHIDUPAN MANUSIA DI ERA MODERN
    1. A.   Tunduk kepada Dua Tuan (Berhala Modern)
Menurut Poerwadarminto dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengatakan bahwa: “Berhala” adalah segala sesuatu yang dipuja seperti patung dan sejenisnya yang selalu dipuja, menghormatinya sebagaimana memuja kepada Tuhan. ‘Memberhalakan’ adalah mendewa-dewakan atau memuja sesuatu.

Dari definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa berhala adalah sesatu yang dipuja dan disembah karena dianggap lebih besar, lebih kuat, lebih berkuasa dari dirinya sendiri. Pemujaan dan penyembahan adalah sesuatu yang berkaitan dengan kepercayaan atau keimanan. Orang yang memuja dan menyembah atau yang mendewakan sesuatu seperti berhala maka kepadanyalah seseorang itu mengabdikan diri atau memperhambakan diri. Jika sudah terjadi yang dinamakan ‘memperhambakan diri’ maka seseorang rela mempersembahkan dan mempercayakan seluruh hidupnya kepada sesembahannya itu.

1)      Berhala Kuno
Dalam Keluaran 20:3 dikatakan bahwa: “Jangan ada padamu Allah lain di hadapanKu”. Dari nats ini kita tahu bahwa sudah sejak lama manusia telah mengenal yang disebut dengan penyembahan dan pemujaan kepada Tuhan. Itulah sebabnya Allah memesan kepada bangsa Israel melalui Musa supaya umatNya tidak menyembah kepada Allah lain selain kepadaNya.
Pada zaman dahulu kala di masa nenek moyang kita masing-masing suku atau daerah memiliki sesembahannya sendiri. Seperti di daerah dan suku Nias kita mengenal yang namanya ‘patung’ atau “ADU ZATUA”. Kepada ADU tersebutlah orang-orang Nias menyembah dan memuja. Segala kepercayaan dan pengharapan ditujukan kepada ‘Adu’ bahkan orang-orang Nias boleh dikatakan telah memperhambakan dirinya kepada ‘adu’. Akan tetapi setelah Injil Yesus Kristus memasuki Pulai Nias pada tanggal 30 Oktober 1865 oleh Misionaris dari Jerman bernama Tuan Denninger, maka sedikit demi sedikit kepercayaan kepada ‘adu’ semakin berkurang dan mengarahkan iman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat.

Seperti manusia merasa kurang sesuatu dalam hidupnya jika tidak ada penyembahan. Ini berarti bahwa bahagian dari hidup manusia adalah bertuhan dan beriman. Ketika Musa menghadap Allah di Gunung Sinai selama 40 hari dan 40 malam maka bangsa Israel yang sedang menunggu seakan-akan tidak sabar menanantikan Musa turun dari Gunung Sinai itu dan menemui mereka. Sehingga akibat dari ketidaksabaran mereka tersebut mereka memaksanakan Harun untuk membuat bagi mereka patung untuk disembah. Sehingga mereka mengumpulkan semua emas dan perhiasan mereka dan Harun secara terpaksa mengikuti tuntutan bangsa Israel dan membuat Patung Lembu Emas dan kemudian mereka menyembahnya, bersorak-sorai memujinya melebihi dari segala-galanya sehingga suara mereka kedengaran sampai jauh. Tetapi tidak lama kemudian Musa turun dari Gunung Sinai karena telah terlebih dahulu mengetahui apa yang telah dilakukan oleh bangsa Israel. Dan apa yang terjadi? Musa sangat terkejut melihat apa yang telah diperbuat oleh bangsa Israel yang menyakitkan hati Tuhan. Dengan perbuatan mereka tersebut maka bangkitlah amarah Tuhan kepada bangsa itu (Keluaran 32:1-35).

Khususnya di daerah dan suku Nias ‘ADU’ yang dikenal sebagai allah yang disembah oleh nenek moyang dahulu kala adalah sering sekali trbuat dari kayu pahatan yang menyerupai nenek moyang atau orang tua yang mereka anggap sakti atau mempunyai kekuatan magis di dalamnya. Akan tetapi seperti yang sudah kita katakan di atas bahwa setelah Injil Yesus Kristus masuk di Pulau Nias maka diberikan pemahaman bahwa penyembahan kepada patung atau ‘adu’ sangat bertentangan denga iman Kristen sesuai dengan pengarahan dan tuntunan dari Alkitab. Pemahaman itu semakin dimengerti dan diterima oleh orang Nias dan sampai saat ini dapat dikatakan bahwa jika ada orang yang masih melakukan penyembahan kepada ‘adu’ merupakan suatu aib di tengah-tengah masyarakat Kristen. Namun demikian, mungkin secara terang-terangan tidak ada yang melakukan penyembahan kepada berhala tetapi secara terselubung jika kita mau jujur maka masih banyak orang Nias yang melakukan penyembahan kepada berhala atau menyembah kepada yang bukan Allah. Hal inilah yang disebut dengan ‘Berhala Modern’.

2)      Berhala Modern
Berdasarkan statistik dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Nias menyatakan bahwa jumlah penduduk Nias yang memeluk agama Kristen sekitar 90-95%. Dari catatan ini kita dapat berbangga karena Injil telah menyebar sampai ke pelosok. Tetapi di balik kebanggaan itu kita harus malu jika kita mau berkata jujur karena kalau kita berprediksi maka dapat kita katakan ‘Puji Tuhan’ jika ada 60% dari 90% tersebut yang benar-benar memahami iman Kekristenannya.

Kita berani mengatakan demikian karena kita telah melihat dan merasakan sendiri apa yang terjadi dalam kehidupan warga jemaat sehari-hari. Jika Firman Tuhan mengatakan bahwa “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaranNya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Matius 6:33). Namun demikian pada kenyataannya tidak seperti yang dikehendaki oleh Tuhan justru yang sebaliknya yang dilakukan oleh manusia yaitu mengutamakan kepentingan diri sendiri dan sisa-sisa waktunya, sisa-sisa tenaganya, sisa-sisa harta miliknya yang diberikannya kepada Tuhan. Yesus mengajarkan bahwa: “Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu” (Matius 22:38). Dalam hal ini kita diingatkan bahwa penyembahan kepada Tuhan adalah dengan seluruh eksistensi kehidupan, mengabdikan diri kepadaNya dengan setulus hati dan bukan setengah-setengah hati. Ada beberapa hal yang sampai saat ini masih melekat dalam hidup orang Nias, yang dapat dikategorikan sebagai tindakan penyembahan kepada berhala, sbb:

a)      Penyembahan kepada Arwah Nenek Moyang
Tanpa disadari oleh orang Kristen zaman ini, kita selalu menduakan Tuhan dalam hidup kita. Sering sekali dalam perkumpulan atau persekutuan-persekutuan keluarga Kristen, misalnya acara adat pesta pernikahan, menamai anak yang baru lahir, menempati rumah baru, dll disampaing berdoa dan berserah kepada Tuhan dalam nama Yesus maka sering kali orang-orang tua juga kalau berdoa masih saja mengingat berdoa minta tolong kepada arwah nenek moyang atau arwah orang tua yang telah lama meninggal dunia dengan menyebut nama mereka dan seolah-olah orang yang telah meninggal dunia tersebut ada di tengah-tengah kumpulan keluarga yang sedang melaksanakan hajatan. 

Hal inilah yang kita maksudkan sebagai ‘aib’ pada iman Kristen karena Firman Tuhan mengatakan bahwa tidak ada lagi hubungan orang mati dengan orang hidup (Ayub 7:9-10): ‘Sebagaimana awan lenyap dan melayang hilang, demikian, demikian juga orang yang turun ke dalam dunia orang mati tidak adak muncul kembali. Ia tidak lagi kembali ke rumahnya dan tidak dikenal lagi oleh tempat tinggalnya. Juga dalam Pengkhotbah 9:4-6, “Tetapi siapa yang termasuk orang yang hidup mempunyai harapan, karena anjing yang hidup lebih baik daripada singa yang mati. Karena orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati, tetapi orang mati tidak tahu apa-apa, tak ada upah lagi bagi mereka, bahkan kenangan kepada mereka sudah lenyap. Baik kasih mereka maupun kebencian dan kecemburuan mereka sudah lama hilang, dan untuk selama-lamanya tak ada lagi bahagian mereka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari”. Dan beberapa ayat firman Tuhan yang lainnya yang merujuk bahwa orang yang beriman kepada Yesus tidak diperkenankan mengharapkan sesuatu kepada arwah nenek moyang seakan-akan mendewakan mereka lebih dari Tuhan Yesus Kristus sendiri. Karena itu merupakan aib bagi iman Kristen. (Hosea 4:12; 9:1; Keluaran 20:5; Ulangan 5:9; Yosua 24:19)

b)     Harta Benda
Semua manusia yang hidup tidak pernah menginginkan kemiskinan dan kemelaratan. Karena kedua hal itu merupakan musuh terbesar bagi manusia, sehingga setiap orang selalu menghindar daripadanya. Oleh karena itu, dengan segala daya upaya, manusia berusaha semaksimal mungkin untuk bekerja dan mendapatkan segala sesuatu, seperti materi, harta benda agar melebihi dari apa yang dibutuhkan sehari-hari. Hal kelimpahan dan kekayaan adalah suatu hal yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia. Allah tidak menghendaki jika umatNya mengalami penderitaan dan kesengsaraan, tetapi perlu diketahui bahwa segala sesuatu telah diatur oleh Tuhan bagi kehidupan manusia. 

Namun demikian jarang sekali manusia yang bekerja dengan motivasi hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan diri sendiri tetapi kebanyakan orang bekerja dan melakukan bahkan menghalalkan segala cara untuk meraup keuntungan yang sebanyka-banyaknya tanpa memikirkan kepentingan orang lain. Tadi telah kita katakan bahwa Yesus mengajarkan supaya ‘Kerajaan Allah’ didahulukan tetapi dengan sikap dan perbuatan manusia yang senantiasa mengutamakan kepentingan dirinya sendiri seringkali melupakan Tuhan. Setiap pagi sebelum matahari terbit bahkan sampai malam semua waktu dipakai untuk bekerja dan tidak pernah mengingat kepada Tuhan. Ini adalah kesia-siaan (Mazmur115:4-8).

c)      Kebutuhan sehari-hari
Dalam Filipi 3:19, Paulus mengatakan bahwa: “Kesudahan mereka adalah kebinasaan, Tuhan mereka adalah perut mereka, kemuliaan mereka adalah aib mereka....” disini kita melihat bahwa akan tiba saatnya bahkan sudah tiba sekarang manusia tidak mengingat lagi kepada Tuhan, tetapi menghabiskan waktunya untuk mencari kebutuhan jasmani, isi perut, makanan sehari-hari tanpa mengingat waktu untuk berdoa, beribadah, mengikuti PA, kebaktian keluarga, kebaktian lingkungan melakukan doa pribadi dengan Tuhan tetapi menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk bekerja dan bekerja sehingga hal kerja itulah yang diagung-agungkan, sepertinya perut manusia itulah yang menjadi dewa yang disembah setiap saat. Perlu kita tahu bahwa Firman Tuhan mengatakan: “Untuk apa engkau memiliki seluruh bumi tetapi kehilangan hidupmu?” (Matius 16:25; Markus 8:36). Mengutamakan kebutuhan perut yang sifat sementara tidak ad artinya jika dibandingkan dengan kebutuhan rohani yang membawa kita kepada hidup yang kekal.

d)     Berhala-berhala lain
Ada banyak hal yang menyita waktu manusia, termasuk orang Kristen, untuk tidak menyembah dan tidak mengingat kepada Tuhan, misalnya televisi. Tayangan-tayangan acara di televisi tanpa kita sadari membuat mata rohani kita buta akan Tuhan. Masyarakat terlalu banyak duduk di depan televisi menonton sinetron, dari pada merelakan waktunya untuk bersekutu dengan Tuhan.

Banyak warga jemaat membuat alasan-alasan mengapa tidak ikut peribadatan pada suatu waktu. Tidak ada yang menjaga rumah, tidak ada yang menjaga anak, tidak ada yang menjaga toko, tidak ada yang menjaga ladang, tidak ada yang menjaga kandang ternak, dll. Dari contoh-contoh ini dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa segala sesuatu yang mengikat manusia lebih daripada cintanya kepada Tuhan Yesus maka itulah yang disebut dengan penyembahan berhala.

Penyembahan berhala akan menimbulkan amarah dan murka Tuhan bagi yang melakukannya. Yosua memberikan contoh bagi umat Tuhan dalam Yosua 24:15 “Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu beribadah. Tetapi aku dan seisi rumahku, akan beribadah kepada TUHAN”.

  1. B.   Manusia Hidup dalam Budaya Global
Kecenderungan meniru budaya orang lain semakin trend bahkan cenderung mengagung-agungkannya dan sebaliknya mengabaikan dan atau melecehkan budaya sendiri. Kondisi ini menggejala dalam anutan terhadap tradisi hidup beragama yakni munculnya perasaan jenuh bahkan menganggap kolot (ketinggalan zaman). Dikuatirkan bahwa kekhasan budaya/tradisi semakin memudar/hilang ditelah arus modernisasi dan globalisasi.

  1. C.   Gaya Hidup Instan
Kehadiran berbagai jasa teknologi menghantar manusia kehilangan nilai produktifitas, kreatifitas dan daya inovasi. Setiap orang cenderung memilih gaya hidup serba mudah dan serba cepat (instan), yang pada perkembangannya membangun pola pikir dalam memahami dan meraih segala sesuatu, maunya serba cepat/instan. Gaya hidup instan membias dalam kehidupan religius sehingga pola hidup yang seperti diajarkan oleh Yesus untuk memikul salib, menyangkal diri (Matius 10:38; Markus 8:34), dianggap terlalu sulit dan berbelit tetapi maunya ajaib dan atau serba spektakuler.

D.  Kekerabatan antar sesama Berkurang
 Kemajuan dibidang teknologi komunikasi yang canggih dengan sistim ‘tanpa harus bertatap muka’, mengurangi nilai-nilai keakraban/kekerabatan satu dengan yang lainnya.

  1. E.   Manusia akan menjadi hamba atas penemuannya
Satu tantangan yang cukup berarti adalah di kala manusia tidak lagi menjadi tuan atas penemuannya, tetapi justru sebaliknya menjadi atas penemuannya snediri. Kemudahan yang ditawarkan oleh produk manusia menawarkan rasa ‘nikmat’ yang pada gilirannya oleh manusia mengalami perubahan jiwa ke arah ‘sifat ketergantungan’ terhadap produknya sendiri, hilangnya percaya-diri manusia. Hasil produk manusia menjadi mitra baginya/penolong bagi dirinya sendiri melebihi dari sesamanya. Apabila terjadi hal yang demikian maka fungsi seutuhnya manusia bagi sesamanya telah direbut oleh produk manusia itu sendiri.

  1. F.   Gaya Hidup Materialis
Manusia dalam hidupnya memandang dan memahami segala sesuatu berdasarkan kepentingan atas nilai-nilai materi, hal ini baik dalam berkarya maupun interaksi antar manusia dengan sesamanya. Pola hidup seperti ini menyebabkan rendahnya tanggung jawab moral dan spiritual seseorang dalam melaksanakan tugasnya dan rusaknya etos kerja karena orientasi kerjanya hanya untuk mendapatkan materi. Pola pikir sedemikian membentuk pola hidup manusia yang memahami bahwa materi adalah penolong dan tuan untuk memperoleh segala sesuatu. Salah ciri pola hidup materialis adalah dengan menempatkan ‘nilai materi’ menjadi tolok ukur terhadap sejahtera dan atau bahagianya seseorang. Setiap orang berlomba untuk mendapatkan sesuatu dan rendahnya kesadaran untuk memberi atau berkorban (Kisah Para Rasul 20:35), sehingga keberhasilan seseorang diukur menurut jumlah yang diperolehnya dan bukan atas berapa banyak yang diberikannya.

  1. G.   Gaya Hidup Konsumtif
Daya pikat yang timbul dari sentuhan teknologi oleh berbagai kemudahan dari pelayanan jasa yang praktis, setiap konsumen mengalami kecenderungan jiwa yang mengandalkan ‘jasa’ yang mengakibatkan hilangnya daya kreasi/daya cipta seseorang. Pada gilirannya hidup yang demikian mengakibatkan ketergantungan yang mengandalkan jasa yang sifanya praktis dan instan. Mudah tergoda dan tergiur oleh berbagai hal baru, rasa bosan dan tidak tahu berterima kasih dengan keberadaannya ‘disini dan kini’. Bertumbuhnya pola hidup konsumtif menggiring setiap orang dengan berbagai keinginan ‘permintaan’, tetapi daya kreatifitas semakin menurun. Setiap saat mengalami perubahan minat akan sesuatu dan melirik hal yang baru. Gaya hidup konsumtif membudaya disegenap aspek kehidupan.

H.  Gaya Hidup Sekularisme
Setiap orang akan melihat segala sesuatu menurut kebutuhannya saat ini di sini dan kini. Persoalan dunia akhirat adalah terlalu muluk-muluk untuk dipikirkan dan hanya menjadi beban saja serta menghalangi niat untuk menikmati indahnya dunia. Segala bentuk interaksi dan tindakan manusia dilihat dan dinilai menurut tolok ukur dunia sekiarnya. Tidak heran bila pola hidup religius hanya sebatas seremonial belaka dan bahkan dialihfungsikan secara tidak sadar menjadi arena dimana nilai-nilai sekuler ditemukan dan dipertaruhkan.

Kondisi tersebut di atas adalah suatu realita hidup warga masyarakat dewasa ini di tengah dunia global dimana kecenderungan hati umat untuk memilih kenikmatan sesaat di sini dan kini tanpa memahami rencana Allah yang menghendaki umatNya beroleh kebahagiaan pada hari kemudian (Yeremia 29:11), dimana gereja berkarya menjawab panggilannya sebagai garam dan terang dunia.

Ini adalah tantangan tersendiri bagi gereja akan hakikatnya yang Esa, Kudus, Universal, dan Rasuli. Bagaimana gereja mendemonstrasikan misinya tanpa kehilangan jati diri yang telah dipercayakan oleh Raja Gereja, Yesus Kristus, untuk senantiasa eksis di tengah dunia yang terus berubah menuju perkembangannya yang sempurna. Bila gereja tidak setiap saat berbenah diri maka sangat dimungkinkan terjerat oleh daya pikat kemilau modernisasi dan globalisasi.

Tantangan gereja pada zaman ini dengan kemajuan modern adalah tumbuh-suburnya faham rasionalisme dan sekularisme. Manusia lebih mengandalkan ratio untuk kebutuhannya saat ini, sehingga agama dianggap sebagai suatu bentuk emosional yang tidak rasional. Dipahami bahwa dogma gereja adalah ciptaan manusia semata untuk memenuhi tuntutan emosi yang tidak rasional. Ilmu teologi cenderung dialihkan menjadi ilmu sains.

Nilai sekuler yang tumbuh subur menarik minat setiap orang untuk memahami bahwa kadar iman seseorang berbanding lurus dengan kemakmuran yang diperolehnya. Bias pemahaman ini menghantar setiap orang dalam motivasi kemakmuran perlu dibina hubungan dengan Tuhan yang bisa membangun dan atau menjembatani melalui agama, ibadah religius. Maka jiwa religius seperti ini mudah tergoda iming-iming.

Seseorang menganut kepercayaan untuk menemukan tujuannya, bukan ia percaya dan hidup demi tujuan yang dipercayanya (Allah yang disembah). Hal ini membentuk alam berpikir seseorang bahwa agama adalah media guna memenuhi hasratnya. Dimana hasratnya bisa dipenuhi, maka disana agama telah berfungsi. Hal ini merupakan produk glamor dan hedonisme yang menawarkan jasa dengan kemampuan dapat memenuhi selera. Pada akhirnya gereja akan diperhadapkan dalam berprakarsa untuk memenuhi selera umatNya atau untuk menjalankan amanah Tuhan.

Dengan efek globalisasi hal ini dengan cepat merambat hingga ke pelosok sekalipun, terlebih jasa layanan tontonan setiap hari yang membangun imajinasi bahwa kemewahan dan rupa-rupa kenikmatan adalah sesuatu yang harus diperperjuangkan untuk memperolehnya sekaligus menjadi tolok ukur ‘hidup mapan’ yang dikemas dengan nilai religius “orang takut akan Tuhan pasti diberkati”. Orang hidup makmur berarti telah diberkati, kalau diberkati itu artinya dia dekat dengan Tuhan.

Di tengah tantangan inilah gereja ditinggalkan dan dengan keadaan ini gereja diutus oleh Raja Gereja. Kita perlu menyadari sedini mungkin tantangan dalam dunia sekitar kita. Hanya dengan menyadari tantangan beserta akibat yang ditimbulkannya, maka kita dapat berbenah dan tidak terjerembab di dalamnya. Semoga dengan tulisan ini yang jauh dari sempurna dapat memperkaya dan memahami tanggung jawab kita dalam medan pelayanan.
Tuhan Yesus memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar